Peran Komunikasi Terapeutik Di RSUD Ki Ageng Selo Wirosari

PERAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PAIEN PENCABUTAN GIGI DI RSUD KI AGENG SELO WIROSARI

 BAB I

PENDAHULUAN

A. lATAR BELAKANG

      Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Upayan Kesehatan Gigi dan Mulut, Kesehatan gigi dan mulut merupakan keadaan sehat dari jaringan keras dan jaringan lunak gigi gigi serta bagian-bagian yang berhubungan dalam rongga mulut yang memungkinkan individu makan, berbicara dan berinteraksi sosial tanpa disfungsi, gangguan estetik, dan ketidaknyamanan karena adanya penyakit, penyimpangan oklusi dan kehilangan gigi sehingga mampu hidup produktif (Permenkes, 2015). Tubuh yang sehat tidak terlepas dari memiliki rongga mulut yang sehat. Kesehatan rongga mulut merupakan bagian integral dari kesehatan umum (Pintauli, dkk)

      Banyak hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan drajat kesehatan, salah satunya yaitu menyelenggarakan pelayanan kesehatan , salah satu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat adalah pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yahya DKK (2016), kurang nya informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada pasien mengenai perawatan yang akan dilakukan dapat menjadi salah satu faktor pencetus timbulnya rasa cemas, untuk itu perlu dilakukan pendekatan dan komunikasi yang baik oleh perawat gigi kepada pasien untuk mengurangi kecemasan mereka agar tidak menimbulkan masalah dalam proses perawatan. Komunikasi sangat penting dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai suatu upaya penyembuhan yang dikenal dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik sendiri diartikan sebagai suatu proses penyampaian nasehat kepada pasien untuk mendukung upaya penyembuhan. Upaya untuk segera menciptakan hubungan atau komunikasi yang positif, dapat mengurangi rasa cemas dan ingin diperhatikan dari pasien. Perhatian dan bantuan yang diberikan oleh petugas kesehatan dapat mengurangi rasa nyeri yang dialami oleh pasien.

      Komunikasi memang sangat dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan penyembuhan pasien. Baik itu komunikasi secara verbal maupun non verbal. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keberhasilan dalam proses penyembuhan pasien itu selain dengan Teknik komunikasi yang efektif.Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan, dan ditunjukkan pada penerima pesan, dan ditunjukkan pada penerima pesan (Edward Depari). Salah satu komunikasi yang dapat digunakan dalam perawatan gigi adalah komunikasi terapeutik yang bertujuan agar pasien menerima perawatan yang akan diterimanya

Menurut Agus M.Hardjana (2016) “Komunikasi merupakan kegiatan dimana seseorang menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan kemudian memberikan tanggapan kepada pengirim pesan”.Dalam sudut pandang pertukaran makna, komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu. Dalam komunikasi, orang bukan menanggapi kata-kata, melainkan arti dari kata-kata. Selama komunikasi berlangsung, baik pada pengirim atau penerima, terus menerus terjadi saling memberi pengaruh dan dampak dari komunikasi tersebut.

      Komunikasi dalam perawatan disebut dengan komunikasi Terapeutik, dalam hal ini komunikasi yang dilakukan oleh perawat. Pada saat melakukan komunikasi terapeutik harus mampu memberi dampak dan khasiat terapibagi proses penyembuhan pasien. Oleh sebab itu, seseorang perawat harus mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan aplikasi komunikasi terapeutik agar kebutuhan dan kepuasan pasien dapat terpenuhi (Ode,S.L, 2012).

     Komunikasi terapeutik sangat berbeda dengan komunikasi pada umumnya. Karena komunikasi ini merupakan sebuah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan kegiatannya bertujuan untuk kesembuhan pasien. Terapeutik sendiri merupakan seni dari penyembuhan, Sehingga orang yang melakukan terapeutik ini berarti orang tersebut mampu mengkomunikasikan perasaan, perbuatan, ide, ekspresi yang mampu memfasilitasi kesembuhan paien. (Nasir, 2011).

      Komunikasi terapeutik merupakan sebuah ketrampilan penting dalam pelayanan keperawatan, dimana dalam pelaksanaanya dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana dipaparkan oleh Zen (2013) yaitu : persepsi, nilai, emosi, latar belakang sosial budaya, pengetahuan, peran hubungan dan kondisi lingkungan. Apabila komunikasi terapeutik tidak digunakan sebagaimana mestinya maka perawatan pasien tidak bisa dilakukan secara maksimal dan beresiko mendatangkan komplain atau keluhan dari pasien.

     Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan bahwa pendudu7k Indonesia yang memilki masalah gigi dan mulut sebesar 57,6% dan hanya sekitar 10,2% yang menerima perawatan dan pengobatan gigi mulut dari tenaga medis (perawat gigi, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis), sedangkan 68,9% lainnya tidak menerima perawatan gigi dan mulut. Secara keseluruhan kesempatan dan keterjangkauan masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi hanya sekitar 10,2% (Kemenkes, 2018).

      Perawatan gigi dan mulut yang dapat diterima oleh masyarakat terdiri dari beberapa jenis salah satu di antaranya adalah ekstraksi gigi. Ekstraksi gigi merupakan proses pencabutan atau pengeluaran gigi dari tulang alveolus (Harty, 1995). Menurut penelitian yang dilakukan Wardle yang dikutip oleh Tangkere pada tahun 2013 dalam penelitiannya mengenai gambaran tingkat kecemasan pada pasien saat menjalani prosedur ekstraksi gigi dengan mendengarkan music Mozart di puskesmas Tuminting menunjukkan bahwa prosedur ekstraksi gigi merupakan pencetus utama terjadinya kecemasan seseorang (Tangkere, 2013).

      Rasa cemas merupakan salah satu tipe gangguan emosi yang berhubungan dengan situasi tak terduga atau dianggap berbahaya. Adapun tanda-tanda fisiologis yang menyertainya yaitu, berkeringat, tekanan darah meningkat, denyut nadi bertambah, berdebar, mulut kering, diare, ketegangan otot dan hiperventilasi.Kecemasan preoperative memiliki sifat subyektif, dan secara sadar perasaan tentang kecemasan serta ketegangan yang disertai perangsangan sistem saraf otonom menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan tingkat respirasi. Hal ini sangat berbahaya karena tingginya denyut jantung dan tekanan darah akan memperberat kerja sistem kardiovaskuler dan meningkatkan kebutuhan oksigen dan kerja jantung. Selain itu, kecemasan yang dialami oleh pasien akan semakin meningkat apabila adanya persepsi dari pasien, yaitu keterampilan atau keahlian dokter gigi yang akan melakukan prosedur pencabutan gigi tersebut masih cukup kurang. ( Permatasari, 2013)

      Kecemasan merupakan respon normal yang sering terjadi dan dialami semua orang ketika menghadapi sesuatu yang dianggap mengancam dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Hal ini diperparah apabila orang tersebut pernah mengalami trauma sebelumnya dan dapat berpengaruh terhadap perawatan di masa yang akan datang. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan dan komunikasi yang baik oleh perawat ke pasien untuk mengurangi kecemasan mereka agar tidak menimbulkan masalah dalam proses perawatan pasien tersebut. Setiap orang yang mengalami kecemasan memiliki cara untuk menunjukkan kecemasannya, sehingga tidak memungkinkan untuk menentukan seberapa besar kecemasan yang dialami orang tersebut. Untuk melakukan pengukuran tingkat kecemasan seseorang perlu dilakukan penilaian dan pemeriksaan baik secara fisiologi, emosional dan kognitif dari pasien seperti adanya tanda-tanda fisiologi yang timbul ditandai dengan meningkatnya denyut nadi atau berkeringat (Pusparatri, 2015). Kecemasan dapat terjadi dalam berbagai situasi dan kondisi, salah satunya ialah kecemasan dental.

      Kecemasan dental merupakan suatu kecenderungan merasa cemas terhadap keperawatan gigi dan mulut (Koch dan Poulsen, 2003). Kecemasan dental tidak hanya terjadi pada pasien anak, tetapi juga dapat terjadi pada pasien dewasa (Elvira, 2013). Pada pasien anak kecemasan ini menjadi lebih wajar dikarenakan situasi yang dihadapinya merupakan pangalaman baru, sedangkan bagi pasien dewasa dapat terjadi berdasarkan pengalaman buruk dimasa kecil terhadap perawatan gigi dan mulut yang dapat menyebabkan trauma serta berpengaruh hingga pasien dewasa (Hmud dan Wals,2013). Pada pasien yang belum memiliki pengalaman dilakukan dilakukan ekstraksi gigi, timbulnya rasa cemas diakibatkan oleh beberapa factor diantaranya yakni mendengarkan pengalaman dari orang lain, seperti teman dan anggota keluarga yang sudah pernah dilakukan ekstraksi gigi atau kurangnya pengetahuan maupun informasi mengenai perawatan yang akan dilakukan.

      Menurut studi kasus yang dilakukan seorang mahasiswa Universitas Sumatera Utara tentang komunikasi terapeutik dalam menangani pasien menyimpulkan bahwa komunikasi terapeutik memang dapat mempengaruhi pasien dalam perawatan yang dilakukan, sebaiknya perawat Gigi dan dokter gigi harus menguasai teknik-teknik komunikasi terapeutik, sehingga Perawat gigi tidak kehabisan cara dalam melayani pasien (Meliala Deasy Sonia, 2015: 144)

      Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa keperawatan gigi Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta tentang pengaruh pemberian komunikasi terapeutik dan tanpa komunikasi terapeutik terhadap rasa takut pada pencabutan gigi anak usia 8 – 11 tahun menyimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik dan tanpa komunikasi terapeutik terhadap rasa takut pada pencabutan gigi anak usia 8 – 11 tahun. Hal ini disebabkan karena perawat dapat menciptakan suasana yang dapat membuat anak merasa nyaman dan tidak takut terhadap pencabutan gigi. Komunikasi terapeutik yang diberikan pada anak juga dapat memperoleh kepercayaan diri anak sehingga anak bersikap kooperatif pada saat pencabutan gigi (Adriana Dila Putri,2016)

      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGIAN KEPALA DAN SYARAF YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIGI GELIGI

PROFIL DAN KEGIATAN PELAYANAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT DI RSUD KI AGENG SELO WIROSARI